Selasa, 22 Februari 2011

engkaukah ini, ayah ?

category : cerpen
oleh : Ticka Y

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sore itu, seperti biasa senja melakukakan rutinitas barunya yaitu jogging sore, rute nya pun masih tetap seperti biasa. Senja memang sengaja memilih rute ini karena kondisi jalannya yang tidak ramai kenderaan, berbeda seperti jalanan besar yang sering membuat ia sering merasa tidak nyaman. Pertimbangan lainnya kenapa ia lebih memilih rute ini karena view disepanjang jalanan yang akan ia lewati untuk jogging, yaitu hamparan sawah hijau yang membentang bak permadani saja, membuat suasana hatinya menjadi begitu damai.


sore itu, setelah letih bercucuran keringat, senja memilih untuk menghabiskan jarak yang tersisa untuk sampai kerumahnya dengan berjalan santai sambil mengamati keadaan disekitarnya, suasana perkampungan dengan rutinitas orang – orang kampung pada umumnya. Namun tidak disengaja, matanya mengarah pada sebuah pemandangan yang menyita perhatiannya sore itu, ia melihat seorang lelaki paruh baya menggendong seorang anak perempuan kecil yang mungkin baru berusia belum genap 6 tahun. Lelaki itu menggendong putrinya diatas bahunya, gelak tawapun meliputi keduanya.


Pemandangan itu, seolah mengingatkannya akan sebuah harapan kecilnya beberapa tahun silam, mungkin sama seperti ketika ia seusia anak perempuan itu. Senjapun kembali terhanyut dalam masa kecilnya. Masa dimana ia pernah begitu merindukan sosok tangguh yang dimiliki oleh kebanyakan teman – teman kecilnya dulu.


***


Ayah, Bapak, Abah, atau Papa, mereka menyebutnya. Namun begitupun, sepertinya senja tidak benar - benar paham bagaimana menggambarkan karakter hebat yang menjelma menjadi sosok pahlawan dalam hidup teman-teman kecilnya itu.

 
Entah sudah sejak kapan ia mulai tidak peduli tentang ada tidaknya keberadaan sosok ayah dalam kehidupannya. Mungkin sejak ia mulai tidak menghiraukan dan berusaha membuang perasaan cemburu yang kerap kali menggerogoti bathinnya setiap kali ia terpaksa harus menyaksikan pemandangan yang menggambarkan betapa girangnya teman-teman seusianya dulu ketika ia tengah duduk di bangku sekolah dasar itu diantar ataupun dijemput oleh ayah mereka masing - masing.


suatu masa pernah wali kelasnya bertanya kepadanya ketika awal caturwulan kala itu. “senja..” panggil pak sumiarno yang sedang memeriksa rapor – rapor yang telah dikumpulkan diatas mejanya. “iya, pak..” saut senja yang sejak tadi asik mengobrol dengan teman sebangkunya.

“mengapa nilai rapormu tidak pernah sditanda tangani ayahmu ?” Tanya pak sumiarno sambil membolak – balik lembar kertas yang mengapresiasikan nilai – nilai mata pelajaran sekolah di setiap caturwulan itu.

“hmmm, itu pak, anu….” Senja mulai kelihatan bingung menjawab pertanyaan dari wali kelasnya itu. Jarak antara bangkunya dengan wali kelasnya cukup jauh, sehingga mengharuskan ia harus menjawab pertanyaan wali kelasnya itu dengan suara yang agak keras.

“ saya gak tahu pak, karena saya sejak kecil memang hanya tinggal bersama ibu, pak..”


“jadi ayah kamu dimana ?” Tanya pak sumiarno sekali lagi.


“ayah dan ibu saya sudah lama pisah pak, jadi ya cuma ibu yang bisa menandatangani rapor saya pak..” jawab senja dengan suara yang agak berat, terlihat air matanya sedikit tertahan.


Namun sepertinya pak sum tahu kondisi senja saat itu, dengan tersenyum simpul ia

menenangkan senja, “ya sudah senja, tidak mengapa.. itulah sebabnya ada diperingati hari anak, kan?” pak sum hanya berkata dengan kalimat sederhana itu untuk menghibur senja. Namun senja hanya diam tertunduk. Belum lagi ia harus menghadapi teman – teman sekelasnya yang berbisik – bisik dan kemudian dengan nada setengah menyindir bertanya kepadanya “senja, memangnya dimana sekarang ayahmu?”

 

Saat itu hanya perasaan marah yang berkecamuk dalam dirinya, berkali-kali ia merasa marah dengan keadaannya, dengan teman-temannya dengan seseorang yang ia sebut ayah itu. ia benci dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sosok lelaki yang tidak pernah ia kenal itu. Hingga perasaan itu lah yang terus ia bawa hingga ia lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke SMP bahkan hingga ia menyelesaikan SMA pada akhirnya. Perasaan sakit hati yang tersebab ia tak mampu menemukan jawaban mengapa harus begini? Mengapa ia kerap susah sekali menjelaskan kepada mereka tentang sosok yang tak pernah ia kenal. Hingga suatu hari ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa kelak tidak akan ia biarkan anak-anaknya mengalami keadaan yang sama seperti yang ia rasakan.


***


Seiring berjalannya waktu, senja kecilpun perlahan menjelma menjadi remaja yang tengah menjalani fase pemikiran yang kritis dan membawa kebencian yang telah lama ia simpan sejak dulu, kebencian yang berubah seperti bola salju yang menggelinding kian hari kian membesar.


Siang itu, semasa ia masih mengenakan seragam putih abu-abu, senja terlibat sebuah polemic dengan pak esge, salah seorang guru bahasa inggris dikelasnya, hingga akhirnya bu astri membantunya sebagai penengah, namun entah bagaimana bisa masalah yang mulanya sederhana itu kemudian membuka luka lama yang telah lama senja abaikan itu.


Hingga bu astri berkata “ bagaimana jadinya hubunganmu saat ini dengan ayahanda, nak?”


Dengan nada agak ketus ia menjawab “ ya gak gimana lah bu.. saya dengan kehidupan saya dan dia dengan kehidupannya..!” kelihatan jelas sekali kalau senja mulai merasa tidak nyaman dengan bu astri yang mulai mencampuri kehidupan pribadinya


“loh, kenapa begitu…? Biar gimanapun beliau itu kan tetep ayahmu, ndak yang namanya mantan anak..” jelas bu astir dengan logat jawanya yang begtu kental.

Seolah tanpa beban bu astripun terus berkomentar “ ndak boleh seperti itu, kamu harus tetap menghormati beliau dan tetap menjaga tali silaturahim dengan nya”.


Senja terus bergumam dalam hatinya “hah.. bagaimana mungkin ibu dengan gampangnya bicara seperti itu? apa ibu pernah merasa menjadi seperti aku? Mengapa mudah sekali bagi ibu menghakimi aku tanpa tahu bagaimana ini terjadi padaku? “ bagitulah bathinnya terus bergolak melawan statement-statement tanpa dasar yang dilontarkan guru BK itu kepada dirinya. Saat itu senja tidak lagi dapat membedakan benar atau salah, yang ia tahu bahwa ia merasa sakit dan berarti itu adalah salah.


”senjaa.. pergilah temui ayahmu, mintalah maaf kepadanya, sebab jika tak ada beliau maka tidak ada kamu juga” bu astri terus melanjutkan nasihat-nasihat baiknya kepada senja yang sedari tadi sebenarnya tengah menolak mentah – mentah apa yang ia katakana kepada senja.


Benar saja, emosinya pun memuncak sudah “maaf bu astri..” tiba-tiba terdengar suara senja yang dari tadi diam kini mulai menyanggah perkataannya.


”Tidak seharusnya ibu berkata seperti itu kepada saya, ibu kan tidak merasakan berada di posisi saya, apa ibu kira ini adalah keadaan yang mudah saya lalui.”


“ sejak kecil saya tidak pernah mengenal dia,ayah saya.”


“Lantas bagaimana dengan kehidupan yang telah terbiasa kulewatkan tanpa sosoknya itu?”


“Lantas dimana ia ketika saya melewati bermacam peristiwa penting dalam hidupku?”


“Dimana ia ketika saya kedinginan?”



“Dimana ia ketika saya butuh bimbingan seorang ayah, melawan rasa ketakutan dan melewati masa-masa sulit bersama ibu saya?”


“dimana ia dalam setiap keadaan yang saya dan ibu lewati ?”


atau bahkan “dimana ia ketika saya melewati bermacam peristiwa penting dalam hidup saya?


Bahkan dimana ia saat rapor saya harus dijemput oleh orang tuaku ?”. dimana buuu…?? Dimana..??? Tukas senja tiada henti kepada bu astri seolah melimpahkan segala sesak yang telah lama membuncah itu.


“Senjaaa…” jawab bu astri mencoba menenagkan senja yang sepertinya sedang dikuasai amarah itu.


“Tidak, bu..” tukas senja


“saya tidak bisa melakukan apa yang ibu katakan tadi, terserah bagaimana penilaian ibu terhadap saya” jelas senja sambil beranjak dari tempat duduknya, sambil bergegas mengangkat tas sekolahnya ia berkata kepada bu astri “jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan selain masalah pribadi saya, saya mohon izin untuk pulang bu..”

“oya bu, bukankah benua amerika itu akan tetap ada, meskipun bukan Cristhoper Colombus ataupun Amerigo Vespuci yang menemukannya ?”

“permisi bu, saya pamit pulang…” senja kemudian beranjak meninggalkan kantor BK yang

 pada saat itu hanya ada dirinya dan bu astri.


Sementara bu astri yang berada diruangan itu hanya tertegun melihat reaksi senja, tapi sepertinya ia maklum dengan keadaan psikologis senja saat itu. Sehingga ia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja sambil menatap senja yang berjalan semakin jauh meninggalkan kantornya.

Begitulah senja, seorang remaja kritis sekaligus berwatak keras itu.


***


Kemudian sampailah senja pada sebuah proses dimana ia mendengar,mengerti dan memahami. Sebuah proses belajar yang tiada henti, di bumi Allah yang ia jadikan sebagai sekolah kehidupannya sepanjang masa

Semakin lama ia semakin dapat merasakan proses pembelajaran dalam sekolah kehidupan ini. Senja remaja telah menyelesaikan sekolah tingkat menengahnya dan kini mulai mengenal dunia kampus yang menurutnya bukan hanya sekedar pendidikan baca tulis saja. Kini iapun semakin merasakan perasaan yang semakin kuat yang mendorongnya untuk menemukan jati dirinya yang sesungguhnya, tentang siapa ia dan untuk apa ia ada di dunia ini, yang pada akhirnya mengantarkannya mengenal siapa Tuhannya.


***



Di kampus itulah ia mengenal fajar, ia mengenal fajar bukan hanya sebagai seorang mahasiswa yang berada dalam satu jurusan dengannya, lebih dari itu, ia mengenal sisi lain dari seorang fajar, yang mungkin kebanyakan orang menganggapnya biasa – biasa saja. Pernah disatu masa, ia merasa begitu cemburu dengan seorang fajar, sebab ia mengetahui bahwa fajar adalah seseorang yang begitu mencintai ayahnya. Berkebalikan dengan senja, yang selama ini begitu membenci ayahnya.


Senja merasakan cemburu yang begitu bergejolak setiap kali fajar bercerita tentang ayahnya, sorot mata fajar begitu memancarkan kekaguman dan kerinduan akan hari-hari yang ia lalaui bersama ayahnya. Ia cemburu karena fajar begitu banyak memiliki kenangan bersama ayahnya. Melalui fajar, senja benar – benar mengerti bahwa figur seorang ayah itu ternyata memang benar – benar ada, bukan fiktif belaka seperti yang selama ini ia bayangkan.


Sehingga tanpa sadar senja tengah melukai perasaannya sendiri manakala hatinya mulai bertanya :


“kenangan apa yang pernah aku lalui bersama ayahku ?"



Senja terus berusaha membuka memori-memori masalalunya dengan terus mencoba mencari-cari adakah sedikit kenanganyang pernah ia lalui dengan ayahnya sebagai salah satu pembelaan dari dalam dirinya, bahwa ia memilii kenangan yang serupa sebagaimana fajar tetap menyimpan indah kenangannya bersama ayahnya.

“TIDAAK, ternyata tidak ada walau sekeping pun…” senja bergumam dalam hatinya  


“mustahil kutemukan kenangan itu, sebab tak sekalipun aku pernah melalui apapun itu bersamanya.”


“Ya Tuhan..” Bathinnya mengisak


“aku bahkan tidak memiliki sketsa wajah ayahku dalam memoriku, benarkah ada bagian puzzle yang tak ada dalam hidupku??” senja terus bergelut dengan suara bathinnya.


“Tidak, senja.. inilah puzzle hidupmu..” begitulah suatu hari fajar menenangkan hatinya.


“kau tidak perlu menyamakan berapa banyak jumlah puzzle yang kau miliki dengan orang lain, sebab Tuhan memberikan kesempurnaan bentuk gambar dalam puzzlemu dengan jumlah keping yang telah kau miliki saat ini” nasihat fajar itulah yang selalu menguatkan hatinya.


“yaa.. Fajar benar..”

“Seharusnya aku bersyukur dengan kepingan puzzle yang telah kumiliki saat ini, bukan malah menangisi jumlah kepingan puzzle yang tak sama denga orang lain .” senyum senja mulai mengembang.


Senja kembali berbicara dalam hatinya “Sungguh Tuhan, aku perlahan mulai ikhlas menerima kenyataan yang dahulu paling sulit kuterima. Harusnya aku sadar bahwa aku ini masih jauh lebih beruntung jika aku menyadari bahwa diluar sana bahkan ada orang yang tidak mengenal kedua orang tuanya, tidak mendapatkan kasih sayang dari keduanya, bahkan ia mungkin tidak sempat memikirkan apa itu kasih sayang tersebab ia harus memenuhi tuntutan hidup yang jika boleh ia memilih, mungkin tiada ingin ia jalani hidup yang seperti itu, hidup yang begitu keras dimana ia harus bertahan didalamnya.”


“Ya Tuhan, dimana kuletakkan rasa malu itu pada Mu, mengapa begitu sedikit sekali rasa syukur ku atas nikmat-Mu ?” Senja berkata setengah berbisik diiringi air bening yang mengalir dari sudut matanya.


***


Disuatu siang selepas dzuhur..



Suasana kampus masih seperti biasa, begitu juga senja dan segala aktivitasnya, tiba-tiba terdengar suara Yusuf Islam mengalun dari suara handphone senja. “ini pasti bunda” bathinnya sambil merogo handphone nya yang ada didalam tas ranselnya.

 

“Assalamaualaikun, bund..”

“Wa’alaikumussalam, senja dimana sekarang nak ?” Tanya bunda tergesa-gesa.


“ini, masih dikampus bund, tapi sebentar lagi mau balik lagi ke acara yang kemaren senja
izin sama bunda” terang senja kepada bundanya.


Tapi senja merasa sedikit aneh, padahal bundanya tahu kalau ia sedang ada acara ADK di kampusnya dan baru akan pulang keesokan harinya. Tanpa curiga senja kembali bertanya kepada bundanya, “memangnya kenapa bund? Kok sepertinya panik sekali?”


“Pulanglah sekarang, nak..” jawab bunda pelan


“ayahmu telah tiada..” kata bunda menyelesaikan perkataannya.


“Innalillahi wa inna ilaihi rodziun, iya bund, senja pulang sekarang”



“assalamualaikum” senja kemudian menutup handphonenya.


Tatapan mata senja menerawang kosong kedepan, sendi – sendi dilututnya pun terasa mulai lemas, sehingga nyaris tak mampu menopang tubuhnya lagi.

“siapa yang meninggal, senja ?” pertanyaan lingga menyadarkan lamunannya.


“ayahku, ga” jawab senja

“innalillahi…” kemudian linggapun memapah tangan senja seoalah mengisyaratkan “yang sabar ya, nja..”

 

“aku gak tau, ga.. perasaan apa ini, yang jelas ada bagian yang sakit didalam hatiku, seperti tercabut paksa setelah mendengar kabar dari bundaku tadi. “

“Menangis aja nja, biar berkurang rasa sakitnya tapi jangan diratapi ya..” kata lingga menenangkan.


Bagi senja, lingga memang selalu dapat menenangkannya, dialah salah seorang teman dikampusnya yang belakangan ini dekat dengannya. Senja belajar banyak tentang arti kesederhanaan melalui lingga. wajah teduhnya selalu dapat menginspirasi senja untuk mendekat pada-Nya.


Linggapun berkata pada senja,  


"di ikhlaskan ya nja, biar ayah tenang disisiNya, aku yakin do'a putri sholeha sepertimu yang akan membantu ayah dialam kubur kelak." katanya dengan tatapan senyum kepada senja. kata-katanya seolah mampu menguatkan senja pada masa itu.


Dalam perjalanan pulang menuju rumah, bathin senja terus bertanya sebab ia begitu tidak yakin, benarkah seorang senja dapat menangisi kepergian ayahnya menuju tempat yang hakiki itu?, perasaan yang ia rasakan itu tersebabkan selama ini senja juga tidak pernah merasakan keberadaannya sebagai seorang ayah dalam hidupnya.


“bagaimana mungkin ??”

“bagaimana mungkin aku bisa merasakan sebuah rasa kehilangan padahal tidak sedikitpun aku merasa pernah memilikinya ?” itulah pertanyaan yang terus-menerus muncul hingga ia tiba dirumahnya.


***



Sesampainya dirumah, senja telah ditunggu oleh april, kakak tertua dikeluarganya. Khawatir mereka menunggu terlalu lama, maka senjapun mengeluarkan sepeda motornya yang sejak dua hari yang lalu tidak keluar dari garasi rumahnya.


“buruan, nja..” kata april mulai mendesak.


”iya, kak, lagi manasin motor, dua hari gak dipake jadi susah di starter ni”, jawab senja sambil mengengkol motornya berulang-ulang.


Senja mengendarai motornya seorang diri, sementara april duduk tepat dibelakang suaminya dengan motor matic milik bunda mereka. Bunda memutuskan untuk tetap tinggal dirumah. Mereka paham dengan situasi bunda saat ini. Makanya baik senja maupun kak april tidak ingin memaksa bunda untuk ikut kerumah ayah mereka.


Saat mengendarai sepeda motornya, senja benar-benar merasa pikirannya sedang kosong, sampai ketika motor mereka tiba didepan sebuah gang kecil dirumah tempat ayah mereka disemayamkan. Motor yang dikendarai oleh mas andy mendadak melambat, terpaksa senja yang sedari tadi mengekori nya pun menurunkan kecepatan kenderaannya.


“apa yang membuat jalanan begitu ramai hingga motornya menjadi lambat?” senja membathin.


Dilihatnya beberapa orang laki-laki mendorong sebuah kereta kerenda yang bias dipastikan kalau itulah kenderaan yang akan mengantarkan tubuh kaku ayahnya nanti ke tempat peristirahatan terakhir.  


“ya Allah..perasaan apa ini?”



tiba-tiba senja tidak kuasa menahan butir-butir bening yang mengalir deras membasahi pipinya, ia tak percaya kalau ia dapat menangis secepat mungkin ia hapus airmatanya.


"Perasaan apa ini, Tuhan..?"



kenapa sakit sekali melihat keramaian didepan rumah ayah ? mengapa begitu menyesak didada melihat kakakku yang terisak – isak menahan sedih?” bathin senja terus bergejolak.



Begitu sampai dirumah ayahnya, Ia parkirkan motornya disamping rumah om hanafi, adik paling kecil almarhum ayahnya. Kemudian dilihatnya kakaknya menangis menyalami om yang tidak begitu akrab dengannya, karena memang senja tidak begitu dekat dengan keluarga ayahnya, sebab dulu ketika bundanya masih tinggal bersama mereka, senja masih berusia belum genap setahun.


April memang yang terlihat paling merasa kehilangan, betapa tidak, kematian ayahnya tepat sehari setelah hari ulang tahunnya. Sambil berjalan menuju rumah ayahnya, senja terus menatap kakaknya yang begitu ia sayangi, sambil tidak berhenti berdialog dengan hatinya


“ ya Allah, inikah kado yang harus kakak terima?” .



ketimbang perasaan hatinya, senja justru lebih dapat memahami bagaimana luka bathin kakaknya saat ini. Sebab berbeda dengan senja yang sejak belum genap berusia dua tahun tidak pernah mengenal sosok ayahnya, kakaknya itu memang dekat dengan almarhum ayahnya sejak kecil, sebelum ayah dan bunda mereka memutuskan untuk berpisah. Ia tahu kakaknya itu sebenarnya memang menyayangi ayahnya.


“assalamualaikum” ucap keduanya ketika memasuki rumah almarhum di semayamkan.


“wa’alaikumussalam “ jawab hampir semua orang yang berada di dalam ruangan kecil itu sambil menghentikan bacaan tahlil beberapa saat.


Ayah mereka di baringkan di ruang tamu yang tidak begitu luas, diatas kasur dengan sprei berwarna putih. Sebagian tubuhnya ditutupi kain panjang bermotif batik. Sedangkan bagian kepanya ditutup dengan selendang putih transparan.


Senja duduk bersimpuh tepat disamping wajah ayahnya yang telah di ikat dengan kain putih. Tangisnya kini semakin tiada bisa tertahan ketika ia dan kakaknya, april, membuka selendang putih penutup wajah ayahnya.


“engkaukah ini, ayah..?” ia seperti tiada percaya.


“Allah, inikah ayahku..?” iapun terus terisak tergugu.


Suasana dalam ruangan itu kini menjadi hening, beberapa diantaranya bahkan terharu seraya menghapus airmata mereka. Beberapa yang lain yang tidak mengenal mereka bertanya-tanya dengan kehadiran senja dan kakaknya.


Senja semakin merasakan sesak didalam dadanya, tatkala ia lihat wajah tua ayahnya kini telah kaku. Guratan keriput seakan menjelaskan bahwa almarhum kini telah renta bersama rambut yang kian memutih. hidungnya yang begitu mancung kini telah layu dan seperti ada butiran kecil membasahi sudut mata ayahnya.


Ya, Tuhan, perasaan apa ini?”


kenapa begitu sakit didalam??



aku tidak percaya sosok yang bahkan tak mampu kuingat sketsa wajahnya kini telah ada dihadapanku, dan sekarang tiada lagi bernyawa.” Bisik senja sangat pelan dengan wajah tertunduk.



Kemudian ia mengangkat kedua tangannya seraya mendoakan almarhum ayahnya dan memohon ampun untuknya,

 

“Wahai Allah, ampuni aku.. aku baru menjenguknya justru setelah ia tiada, tiada terbayang bagaimana keadaan beliau ketika kami tidak berada disisinya ketika ia tengah meregang nyawa menghadapi sakratul maut yang teramat dahsyat dari malaikat izrail, masihkah ada ampun bagiku, Allah..?” Allah Sungguh aku telah ikhlas terhadap apa yang telah terjadi dimasa lalu, maka terimalah beliau disisiMu, dan tempatkan beliau ditempat yang terbaik disisiMu..”


senja menangkupkan kedua telapak tangannya kewajahnya seraya mengaminkan.


Disamping jenazah ayahnya, ia senandungkan lantunan Alqur’an sambil menahan isak,


“ Maafkan aku ayah, hanya lantunan ini yang dapat kupersembahkan untukmu”.



Setelah shalat ashar, jenazah ayahnya akan segera dikebumikan, karena semakin cepat akan semakin baik untuk ayahnya. Ketika ayahnya hendak disholatkan, semua keluarga memberikan ciuman terakhir kepada jenazah ayahnya.


Satu persatu bergantian menciumi pipi sang ayah, hingga sampai pada giliran senja. Ia pandangi dalam – dalam wajah tua ayahnya sebelum akhirnya ia mencium pipinya. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia mencium pipi ayahnya dan sekaligus menjadi kali terakhir pula baginya.


“Ya Allah, Sungguh aku tiada kuasa menahan rasa sesak yang menghantam keras didadaku ini. Disaat hatiku mulai melembut beliau justru pergi meninggalkanku.”



Kemudian jenazahpun berlalu diatas keranda yang dipikul oleh beberapa orang, samar terlihat bayangan mereka semakin membawa jauh jasad sang ayah dari tatapan kosongnya. Hanya aliran air yang terasa basah dipipinya ketika april memeluk tubuhnya erat.


“Ampuni aku, Allah.. Keras hatiku telah membawaku merasakan kenyataan pahit ini. Kenyataan bahwa aku sekarang benar- benar telah menjadi seorang yatim.” rintih senja di dalam hati.


“Maafkan aku ayah, tentu belumlah aku dapat menjadi seorang putri sholeha yang berbakti padamu, hanya untaian do’a yang kupanjatkan setiap kali aku merasakan luka dihatiku kian perih. Semoga Allah menerima engkau disisiNya. Semoga kelak kita dapat berjama’ah di jannah-Nya bersama – sama keluarga kecil yang belum sempat kita wujudkan didunia fana ini, ayah..”


“Allahumma aamiin..” ungkap senja seraya memejamkan matanya.



***


 
 
medan, 22 februari 2011
-salam pena-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar