Jumat, 25 Maret 2011

Tempat ini dan dua siluet

" Semua mengalir, tak seorangpun dapat melahan lajunya. Nafas, hidup, cinta dan segalanya, berlalu dengan pena yang terus menari diatas kertas kehidupan, yaitu "TAKDIR". Sungguh, benar-benar skenario sempurna dari Allah Swt"


***


 
Baiklah, malam ini tak banyak cerita yang akan ku ungkap kecuali tentang tempat ini, tempat yang sejak pukul 15.00 wib ini telah menyita banyak energiku, yaa.. aku memang kembali lagi ketempat ini, tapi bukan sebagai pengunjung. Sedikit berbeda dengan saat itu, hari ini aku memutuskan untuk bergabung dengan sebuah stand dari sebuah Badan Penelitian dan Pengembangan.

Sore tadi, dengan langkah sedikit ragu aku melangkah kembali ketempat ini, salah satu tempat yang menjadi pusat keramaian kota Medan saat ini, maklum saja tempat ini memang hanya dibuka setiap satu tahun sekali saja. Sebuah tempat dimana pagelaran seni dan kebudayaan di tampilkan. Sesaat sebelum aku memijakkan kembali kakiku di tempat ini, awan hitam memang sudah mulai tampak berarak menutupi langit sore itu. Ah, tampaknya memang langit sore ini tahu bahwa aku memang sedang nervous, hehe..


Tidak jauh dari yang kuharapkan sejak awal aku menerima side job ini, Alhamdulillah banyak sekali pengalaman yang didapat, ditambah pengetahuan dan yang tak kalah penting adalah persaudaraan.  Melalui sarana ini, aku juga dapat berlatih bagaimana menbangun komunikasi dan interaksi dengan banyak orang, menyenangkan bukan ? dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan orang-orang yang berbeda.

***

Saat waktu maghrib menjelang, akupun tak kalah gelisah. Pasalnya rekan kerjaku tengah izin permisi sebentar tadinya, namun hingga maghrib tiba iapun tak kunjung kembali. Hingga kegelisahan yang tampak diwajahku mengundang perhatian seorang wanita paruh baya, ia kemudian mendatangiku dengan seulas senyum sembari menyodorkan tangannya, "Assalamualaikum, kenalkaaaan..  hasmi".

"Wa'alaikumussalam wr, saya tika, bu"

"belum sholat, toh? kita bareng aja yuk". begitu tawarnya kepadaku.

"iya, bu. tika lagi menunggu teman biar bisa gantian, baru tika kemudian wudhu."

***

diperjalanan menuju mushola kami berbincang - bincang sedikit, "saya baru hari ini dapet giliran kerja disini"  ungkap beliau membuka perbincangan.


"wah, sama duunk bu, saya juga baru dapet giliran hari ini"

"berarti kita jodoh ya bu" 


"wah, iya ya tik"

 akhirnya kami sama-sama tersenyum.
 
 "ibu kaget sekali awalnya lihat kamu di stand ini, ternyata ada juga akhwat di balitbang". begitu kata beliau sambil tersenyum.

"ah, ibu " *sambil cengar-cengir*

"tapi saya masih kuliah kok bu, bukan pegawai disini". 

"saya malah kaget lihat ibu, dalem hati tadi juga mikirnya wah ternyata saya tidak 'sendirian', ada temen dengan stylish yang sama dengan saya ternyata ditempat seperti ini". dan kemudian kami berduapun sama-sama tertawa.


begitulah bu hasmi, sosok ummahat yang ramah sekali, beliau bekerja di Dinas Pemberdayaan perempuan dan anak, berbincang dengannya membuatku merasa nyaman. Alhamdulillah dari pertemuan kami yang singkat itu banyak sekali ilmu yang ku dapat melalui nasihat-nasihatnya.


***

Ah, tempat ini..

Ada perasaan tak asing yang ku rasa disini. entahlah, kepingan cerita masa lalu seperti tertinggal disini. disetiap sudut tempat ini seperti bersenandung lirih kisah perjalanan itu. Rasanya seperti baru kemarin saja aku berada ditempat ini. jelas sekali aku lihat  dua siluet itu berada di bangku-bangku taman. bercerita panjang lebar, sesekali dengan airmata menitis dan sesekali dengan senyum terkembang. saat ku dekat ke arahnya, dua siluet itu pun semakin samar menghilang. tak hanya di bangku taman itu, kulihat dua siluet itu kembali berada di ujung jalan itu, yang satu sibuk bercerita dan yang satu menyimak dengan seksama. kali ini kudekati mereka dengan langkah yang sedikit lebih cepat, namun tak jauh berbeda, siluet itupun kembali memudar.

aku dan tempat ini, ternyata masih meninggalkan jejak cerita dulu, cerita yang belum  selesai dan akupun tak mengetahui bagaimana endingnya, biarlah Sang Pembuat Skenario yang menentukan akhirnya, sebab aku hanyalah aktor dalam panggung dunia fana ini. 


 "Tidak ada kekeliruan dalam proses yang tengah dijalani, yang ada hanya pembelajaran - pembelajaran. Tidak juga ada kebetulan, yang ada hanya makna yang belum ditemukan. Tidak ada kesedihan, yang ada hanya jiwa yang sedang bertumbuh.."




dalam lelah malam ini, 25 maret 2011


Senin, 21 Maret 2011

kutitip rindu pada sang fajar

Category : Cerpen
Oleh : Tika Yunita

----------------------------------------------------------------- 




Untuk kesekian kalinya, senja kembali terjaga dari tidurnya, Hanya hening yang ia rasakan disekitarnya. Dari sebalik kamarnya sesekali terdengar riuh suara serangga yang bertasbih memuji kebesaran Tuhannya, seolah tiada henti bersyukur atas limpahan rahmatNya yang turun melalui butiran – butiran bening air langit. Hujan yang sejak maghrib tadi membasahi bumi cinta ini memang baru saja usai, namun tidak demikian dengan perasaan yang saat ini terus mengusik senja hingga ia berulang kali terjaga dalam lelapnya. 

“Benarkah ini rindu ?”
senja bertanya pada hatinya.
 
Hujan malam ini kembali mengingatkan senja pada sebuah cerita dimasa yang lalu. Teringat kembali tentang fajar, seseorang yang telah terbilang tahun menyisakan cinta yang mengalir lembut dalam jiwanya. Sepertinya masa tak mampu menepisnya dalam sanubarinya
***

Sedikit ragu dengan apa yang ia rasakan, senjapun kembali bertanya pada dirinya sendiri, “ah, apa kau tahu tentang ini?”

“banyak c
erita yang kulalui tanpa keberadaanmu disisiku, ada ribuan tetes air mata yang tercurah, tawa yang berderai, bahagia yang membuncah, kecewa yang menusuk, kehilangan yang mengalir, semua berlalu tanpa dirimu..”

Sebenarnya dalam hatinya terbersit harap fajar dapat hadir untuk menemaninya kala itu. Namun sesaat kemudian senja sadar bahwa tatap saja jalan takdir yang harus mereka lalui tidak bisa begitu. Semua mengharuskan keduanya menjalani kehidupan yang berbeda. Senja dengan hari-hari nya sendiri, begitupun dengan fajar. Kendatipun jarak keduanya dekat, tapi terasa begitu jauh seperti berpuluh kilometer. Ia merasa kini fajar berada pada jarak yang tak tergapai kendatipun mereka berada dalam naungan langit yang sama.

Senin, 07 Maret 2011

I Luv u, mom..



Ini tentang mu, bu..
Berawal dari takdir Allah yang menjodohkan aku berpuluh-puluh tahun sebelum ia meniupkan roh ku kedalam rahim mu, engkaulah wanita mulia itu, yang dipilihkan Allah sebagai malaikatku di dunia yang sarat fatamorgana ini.

Kebahagiaanmu menerimaku sebagai amanah dari Robbmu itu, telah menyirnakan segala rasa yang sungguh, hanya dari golonganmu sajalah yang sanggup menanggungnya. Di tiga bulan pertama itu, engkau merasakan mual, tidak enak minum, tidurpun tak nyenyak bahkan acapkali engkau terjaga dalam tidur malammu yang membuat pertahanan tubuhmu pun ikut tumbang. Tapi tidak sedikitpun terdengar keluhan dibibirmu.

Setiap saat, engkau memaksakan diri untuk menguatkan tubuhmu, kendatipun engkau kerap susah menelan makanan dan minuman yang terbilang seadanya saat itu, namun engkau tetap berupaya yang terbaik, “ini demi pertumbuhan anak yang tengah kukandung”, begitu gumammu dalam hati. Hati yang menjadi perantara antara aku, engkau dan Sang Robb.

Kudengar cerita orang, bahwa engkaupun bukan hanya menyelesaikan pekerjaanmu sebagai seorang istri, namun engkau juga ikut membantu pemenuhan kebutuhan hidup kita. Hidup yang telah di gariskan oleh Sang Robb, yang pasti begitu sulit engkau lalui saat – saat itu. Sungguh, hanya jiwa-jiwa tegar sepertimu lah yang sanggup melaluinya dengan besar hati. Engkau jalani kehidupan ini dengan keyakinan bahwa Allah selalu ada bersamamu, bahwa selama matahari masih terbit dari timur, pasti kan ada rezki yang Dia sediakan untuk hamba-hamba-Nya.

Waktu terus berlalu sembari tubuhmu pun terus merasakan sakit yang tak tertahan ketika usia kehamilanmu memasuki bulan terakhir. Ya, kini engkaupun bukan hanya merasakan sakit kala mengandung, namun engkau harus merasakan sakit yang tak terperi saat engkau berjuang melahirkanku kedunia ini. Engkau berjuang sekuat kemampuanmu, tak menghiraukan keselamatanmu, bahkan engkaupun tak gentar memilih kematian asalkan engkau mampu mempersembahkan kehidupan buatku, anak yang engkau kandung. Sakit yang tak tertahankan di sekujur tubuhmu, dera nafasmu pun tak lagi normal, entah sudah berapa kali hentakkan yang engkau lakukan demi mendorongku agar selamat menghirup udara dunia fana ini.

Sesaat kemudian senyummu pun merekah, tatkala engkau mendengar suara tangis memekik yang keluar dari mulutku kala itu. Rasa sakit bersahabatkan maut tadipun sirna seketika itu, dengan tatapan lembut engkau cium keningku. Dan tiada engkau sadari bahwa butir-butir bening mengalir deras dari sudut-sudut matamu. Engkau lantunkan rasa syukurmu atas keselamatanku, dengan penuh harap kau bisikkan doa untukku, agar kelak aku tumbuh menjadi seorang anak yang berbakti kepada orang tua. Kau berikan segala yang terbaik untukku di tengah keterbatasan materimu, engkau penuhi kewajiban yang seharusnya tak engkau lakukan seorang diri. Engkaupun memberikanku pendidikan terbaik, agar kelak aku menjadi insan yang berguna, dan dengan bekal pendidikan itulah engkau mengenalkanku pada Sang Robb.

Namun apa balasan yang kuberikan padamu, bu ?