Tampilkan postingan dengan label Old box story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Old box story. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 April 2014

White Alone Flower




You can cut all the flowers but you cannot keep Spring from coming.. ~Pablo Neruda

posted from Bloggeroid

Kamis, 02 Januari 2014

Aku datang

Rabb, segala kemungkinan apapun yang terjadi hari ini, temani aku hadapinya hingga jadi kenyataan yang kumaknai selalu sebagai hikmah..

Selasa, 31 Desember 2013

Rindu ini (lagi)



“Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik..” 


~sebuah novel 'sunset bersama rosie'

***

Senja ini masih seperti kemarin, matahari izinkan bulan menggantikannya. Lain hati, ia tak izinkan ada yang gantikan rasaku padamu. Oh ya, semalam kau datang lagi dalam lelapku. Tapi aku lupa entah itu kali keberapa kita bertemu dalam kolase mimpi.


Entah hasrat apa yang membawamu hadir selalu dalam dunia lelapku, atau mungkin aku yang sengaja mengundangmu hadir lewat harapan bawah sadarku yang ingin bersua denganmu. Entahlah, aku tak dapat jelas mengingatnya, namun tak luput dalam memoriku bahwa saat itu kita hanya saling bertatap rindu lalu kemudian kau hilang lagi bersama rekahan fajar, aku terjaga sebelum kita sempat bertukar kisah


Aku tau ada sekat yang membuatmu tak dapat lebur padaku dan kitapun pahami itu sejak mulanya. Kemudian aku berdiam, bukan.. bukan diam, aku berdiam dalan doa-doaku. Cuma itu yang mampu kuberikan tuk hantarkanmu raih segala bahagia. Anggaplah doa-doa itu sebagai caraku memelukmu dari jauh.


Suatu kali pernah dengan mantap hati kau siratkan sebuah pesan untukku agar aku pergi saja jemput bahagiaku. Dan aku hanya tersenyum simpul membaca pesan tak langsung itu, sembari berkata dalam heningku, " lantas bagaimana jika bahagiaku adalah disisimu bersama-Nya ?". Ah, lagi-lagi ini urusan hati, sebagaimana aku tak bisa menahanmu untuk tetap bertahan miliki perasaan itu, maka bukankah kaupun tak dapat jua memaksaku untuk membuang jauh perasaan ini. Biarlah ini menjadi urusan hatiku dan menjadi jejak pada perjalananku.Tuhan, telah menyimpanmu disana.


Sekarang tinggal kita jalaninya, tapi bagaimana ?


Sudahlah, kita pulang saja ke hati. Belajar tentang rela. Lalu berusaha untuk setia. Sulitkah? Ya, bukankah memang tak ada kemenangan yang mudah dari tiap pertempuran?


Dan ya, memang tak pernah ada kita yang suci atau bersih dari dosa-dosa. Tapi ini bukan tentang jadi suci, melainkan belajar jadi lebih baik. Kita biarkan saja Allah yang Maha menilai, bukankah memang Dia sajalah yang mengetahui segala isi hati.


Dan setiap yang terluka dari kisahmu ini, aku tau kau pun terluka. Maka menyembuhlah bersama perjalanan yang terjadi. Semoga waktu merawati luka kita masing-masing dengan sabar dan kasih. Lalu ia sembuh dan tak ingin saling melukai lagi.


Sekarang pada hari-hari yang tak kita hitung-hitung tadi, kita membaikkan diri saja. Untuk menjadi belahan jiwa masing-masing pada masa yang akan tiba sesuai skenario milik-Nya.


Aku bukan menunggumu, tapi aku menunggu Allah izinkanmu jemput aku. Namun jika pada akhirnya-pun Dia tak jua izinkan, maka tak mengapa. Dia tetap bersamaku, dan kau bisa dengan suka cita lanjutkan hidupmu.


Walau aku mungkin terus melintasi jalan ini, namun kau tetap bebas menentukan arah laju kakimu saat ini ataupun nanti. Kelak, jika diseparuh perjalanan kau dirundung rasa muak dan kebosanan tiada tara, sedang saat itu kau dapati seseorang yang lebih baik dari harapanmu, maka tinggalkanlah aku tanpa harus kau tatap lagi bekas tapak ini. Kemudian berjanjilah bahwa kau akan berbahagia dengan pilihan terbaik-Nya.


Pergilah, tak mengapa. Karena dengan kepergianmu aku punya alasan untuk selalu mengingatmu. Membawamu serta dalam kotak kenanganku. Jasadku terbatas, biar doa meretas langit. Disana luas, namamu bisa lapang kulukis.

 
Namun pulanglah, kapanpun kau anggap pulang adalah aku, saat itu aku akan ada. Aku tak butuh batas dalam mencintaimu. Biarlah Tuhan saja Sang Maha Pembatas. Biarkan takdir yang mengalun ritmis pada selaras rindu jadi kidung sendu pengiring jalanmu pulang kepadaku bersama-Nya.


***



Aku kini mengerti tentang sabar, ia setia pada penantian bukan yang dinanti. Sebab yang dinanti mungkin tak datang lagi. Namun Sabar, ia tetap menjagaku disini.


Pada cinta, suka dan dukaku sudah lebur..






*aksaraku dalam rindu || dan ini bukanlah hal yang merepotkan.
Pucuk pena, tika.y

Jumat, 25 Maret 2011

Tempat ini dan dua siluet

" Semua mengalir, tak seorangpun dapat melahan lajunya. Nafas, hidup, cinta dan segalanya, berlalu dengan pena yang terus menari diatas kertas kehidupan, yaitu "TAKDIR". Sungguh, benar-benar skenario sempurna dari Allah Swt"


***


 
Baiklah, malam ini tak banyak cerita yang akan ku ungkap kecuali tentang tempat ini, tempat yang sejak pukul 15.00 wib ini telah menyita banyak energiku, yaa.. aku memang kembali lagi ketempat ini, tapi bukan sebagai pengunjung. Sedikit berbeda dengan saat itu, hari ini aku memutuskan untuk bergabung dengan sebuah stand dari sebuah Badan Penelitian dan Pengembangan.

Sore tadi, dengan langkah sedikit ragu aku melangkah kembali ketempat ini, salah satu tempat yang menjadi pusat keramaian kota Medan saat ini, maklum saja tempat ini memang hanya dibuka setiap satu tahun sekali saja. Sebuah tempat dimana pagelaran seni dan kebudayaan di tampilkan. Sesaat sebelum aku memijakkan kembali kakiku di tempat ini, awan hitam memang sudah mulai tampak berarak menutupi langit sore itu. Ah, tampaknya memang langit sore ini tahu bahwa aku memang sedang nervous, hehe..


Tidak jauh dari yang kuharapkan sejak awal aku menerima side job ini, Alhamdulillah banyak sekali pengalaman yang didapat, ditambah pengetahuan dan yang tak kalah penting adalah persaudaraan.  Melalui sarana ini, aku juga dapat berlatih bagaimana menbangun komunikasi dan interaksi dengan banyak orang, menyenangkan bukan ? dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan orang-orang yang berbeda.

***

Saat waktu maghrib menjelang, akupun tak kalah gelisah. Pasalnya rekan kerjaku tengah izin permisi sebentar tadinya, namun hingga maghrib tiba iapun tak kunjung kembali. Hingga kegelisahan yang tampak diwajahku mengundang perhatian seorang wanita paruh baya, ia kemudian mendatangiku dengan seulas senyum sembari menyodorkan tangannya, "Assalamualaikum, kenalkaaaan..  hasmi".

"Wa'alaikumussalam wr, saya tika, bu"

"belum sholat, toh? kita bareng aja yuk". begitu tawarnya kepadaku.

"iya, bu. tika lagi menunggu teman biar bisa gantian, baru tika kemudian wudhu."

***

diperjalanan menuju mushola kami berbincang - bincang sedikit, "saya baru hari ini dapet giliran kerja disini"  ungkap beliau membuka perbincangan.


"wah, sama duunk bu, saya juga baru dapet giliran hari ini"

"berarti kita jodoh ya bu" 


"wah, iya ya tik"

 akhirnya kami sama-sama tersenyum.
 
 "ibu kaget sekali awalnya lihat kamu di stand ini, ternyata ada juga akhwat di balitbang". begitu kata beliau sambil tersenyum.

"ah, ibu " *sambil cengar-cengir*

"tapi saya masih kuliah kok bu, bukan pegawai disini". 

"saya malah kaget lihat ibu, dalem hati tadi juga mikirnya wah ternyata saya tidak 'sendirian', ada temen dengan stylish yang sama dengan saya ternyata ditempat seperti ini". dan kemudian kami berduapun sama-sama tertawa.


begitulah bu hasmi, sosok ummahat yang ramah sekali, beliau bekerja di Dinas Pemberdayaan perempuan dan anak, berbincang dengannya membuatku merasa nyaman. Alhamdulillah dari pertemuan kami yang singkat itu banyak sekali ilmu yang ku dapat melalui nasihat-nasihatnya.


***

Ah, tempat ini..

Ada perasaan tak asing yang ku rasa disini. entahlah, kepingan cerita masa lalu seperti tertinggal disini. disetiap sudut tempat ini seperti bersenandung lirih kisah perjalanan itu. Rasanya seperti baru kemarin saja aku berada ditempat ini. jelas sekali aku lihat  dua siluet itu berada di bangku-bangku taman. bercerita panjang lebar, sesekali dengan airmata menitis dan sesekali dengan senyum terkembang. saat ku dekat ke arahnya, dua siluet itu pun semakin samar menghilang. tak hanya di bangku taman itu, kulihat dua siluet itu kembali berada di ujung jalan itu, yang satu sibuk bercerita dan yang satu menyimak dengan seksama. kali ini kudekati mereka dengan langkah yang sedikit lebih cepat, namun tak jauh berbeda, siluet itupun kembali memudar.

aku dan tempat ini, ternyata masih meninggalkan jejak cerita dulu, cerita yang belum  selesai dan akupun tak mengetahui bagaimana endingnya, biarlah Sang Pembuat Skenario yang menentukan akhirnya, sebab aku hanyalah aktor dalam panggung dunia fana ini. 


 "Tidak ada kekeliruan dalam proses yang tengah dijalani, yang ada hanya pembelajaran - pembelajaran. Tidak juga ada kebetulan, yang ada hanya makna yang belum ditemukan. Tidak ada kesedihan, yang ada hanya jiwa yang sedang bertumbuh.."




dalam lelah malam ini, 25 maret 2011


Selasa, 22 Februari 2011

engkaukah ini, ayah ?

category : cerpen
oleh : Ticka Y

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sore itu, seperti biasa senja melakukakan rutinitas barunya yaitu jogging sore, rute nya pun masih tetap seperti biasa. Senja memang sengaja memilih rute ini karena kondisi jalannya yang tidak ramai kenderaan, berbeda seperti jalanan besar yang sering membuat ia sering merasa tidak nyaman. Pertimbangan lainnya kenapa ia lebih memilih rute ini karena view disepanjang jalanan yang akan ia lewati untuk jogging, yaitu hamparan sawah hijau yang membentang bak permadani saja, membuat suasana hatinya menjadi begitu damai.


sore itu, setelah letih bercucuran keringat, senja memilih untuk menghabiskan jarak yang tersisa untuk sampai kerumahnya dengan berjalan santai sambil mengamati keadaan disekitarnya, suasana perkampungan dengan rutinitas orang – orang kampung pada umumnya. Namun tidak disengaja, matanya mengarah pada sebuah pemandangan yang menyita perhatiannya sore itu, ia melihat seorang lelaki paruh baya menggendong seorang anak perempuan kecil yang mungkin baru berusia belum genap 6 tahun. Lelaki itu menggendong putrinya diatas bahunya, gelak tawapun meliputi keduanya.


Pemandangan itu, seolah mengingatkannya akan sebuah harapan kecilnya beberapa tahun silam, mungkin sama seperti ketika ia seusia anak perempuan itu. Senjapun kembali terhanyut dalam masa kecilnya. Masa dimana ia pernah begitu merindukan sosok tangguh yang dimiliki oleh kebanyakan teman – teman kecilnya dulu.


***


Ayah, Bapak, Abah, atau Papa, mereka menyebutnya. Namun begitupun, sepertinya senja tidak benar - benar paham bagaimana menggambarkan karakter hebat yang menjelma menjadi sosok pahlawan dalam hidup teman-teman kecilnya itu.

 
Entah sudah sejak kapan ia mulai tidak peduli tentang ada tidaknya keberadaan sosok ayah dalam kehidupannya. Mungkin sejak ia mulai tidak menghiraukan dan berusaha membuang perasaan cemburu yang kerap kali menggerogoti bathinnya setiap kali ia terpaksa harus menyaksikan pemandangan yang menggambarkan betapa girangnya teman-teman seusianya dulu ketika ia tengah duduk di bangku sekolah dasar itu diantar ataupun dijemput oleh ayah mereka masing - masing.


suatu masa pernah wali kelasnya bertanya kepadanya ketika awal caturwulan kala itu. “senja..” panggil pak sumiarno yang sedang memeriksa rapor – rapor yang telah dikumpulkan diatas mejanya. “iya, pak..” saut senja yang sejak tadi asik mengobrol dengan teman sebangkunya.

“mengapa nilai rapormu tidak pernah sditanda tangani ayahmu ?” Tanya pak sumiarno sambil membolak – balik lembar kertas yang mengapresiasikan nilai – nilai mata pelajaran sekolah di setiap caturwulan itu.

“hmmm, itu pak, anu….” Senja mulai kelihatan bingung menjawab pertanyaan dari wali kelasnya itu. Jarak antara bangkunya dengan wali kelasnya cukup jauh, sehingga mengharuskan ia harus menjawab pertanyaan wali kelasnya itu dengan suara yang agak keras.

“ saya gak tahu pak, karena saya sejak kecil memang hanya tinggal bersama ibu, pak..”


“jadi ayah kamu dimana ?” Tanya pak sumiarno sekali lagi.


“ayah dan ibu saya sudah lama pisah pak, jadi ya cuma ibu yang bisa menandatangani rapor saya pak..” jawab senja dengan suara yang agak berat, terlihat air matanya sedikit tertahan.


Namun sepertinya pak sum tahu kondisi senja saat itu, dengan tersenyum simpul ia

menenangkan senja, “ya sudah senja, tidak mengapa.. itulah sebabnya ada diperingati hari anak, kan?” pak sum hanya berkata dengan kalimat sederhana itu untuk menghibur senja. Namun senja hanya diam tertunduk. Belum lagi ia harus menghadapi teman – teman sekelasnya yang berbisik – bisik dan kemudian dengan nada setengah menyindir bertanya kepadanya “senja, memangnya dimana sekarang ayahmu?”

 

Saat itu hanya perasaan marah yang berkecamuk dalam dirinya, berkali-kali ia merasa marah dengan keadaannya, dengan teman-temannya dengan seseorang yang ia sebut ayah itu. ia benci dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sosok lelaki yang tidak pernah ia kenal itu. Hingga perasaan itu lah yang terus ia bawa hingga ia lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke SMP bahkan hingga ia menyelesaikan SMA pada akhirnya. Perasaan sakit hati yang tersebab ia tak mampu menemukan jawaban mengapa harus begini? Mengapa ia kerap susah sekali menjelaskan kepada mereka tentang sosok yang tak pernah ia kenal. Hingga suatu hari ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa kelak tidak akan ia biarkan anak-anaknya mengalami keadaan yang sama seperti yang ia rasakan.


***


Seiring berjalannya waktu, senja kecilpun perlahan menjelma menjadi remaja yang tengah menjalani fase pemikiran yang kritis dan membawa kebencian yang telah lama ia simpan sejak dulu, kebencian yang berubah seperti bola salju yang menggelinding kian hari kian membesar.


Siang itu, semasa ia masih mengenakan seragam putih abu-abu, senja terlibat sebuah polemic dengan pak esge, salah seorang guru bahasa inggris dikelasnya, hingga akhirnya bu astri membantunya sebagai penengah, namun entah bagaimana bisa masalah yang mulanya sederhana itu kemudian membuka luka lama yang telah lama senja abaikan itu.


Hingga bu astri berkata “ bagaimana jadinya hubunganmu saat ini dengan ayahanda, nak?”


Dengan nada agak ketus ia menjawab “ ya gak gimana lah bu.. saya dengan kehidupan saya dan dia dengan kehidupannya..!” kelihatan jelas sekali kalau senja mulai merasa tidak nyaman dengan bu astri yang mulai mencampuri kehidupan pribadinya


“loh, kenapa begitu…? Biar gimanapun beliau itu kan tetep ayahmu, ndak yang namanya mantan anak..” jelas bu astir dengan logat jawanya yang begtu kental.

Seolah tanpa beban bu astripun terus berkomentar “ ndak boleh seperti itu, kamu harus tetap menghormati beliau dan tetap menjaga tali silaturahim dengan nya”.


Senja terus bergumam dalam hatinya “hah.. bagaimana mungkin ibu dengan gampangnya bicara seperti itu? apa ibu pernah merasa menjadi seperti aku? Mengapa mudah sekali bagi ibu menghakimi aku tanpa tahu bagaimana ini terjadi padaku? “ bagitulah bathinnya terus bergolak melawan statement-statement tanpa dasar yang dilontarkan guru BK itu kepada dirinya. Saat itu senja tidak lagi dapat membedakan benar atau salah, yang ia tahu bahwa ia merasa sakit dan berarti itu adalah salah.


”senjaa.. pergilah temui ayahmu, mintalah maaf kepadanya, sebab jika tak ada beliau maka tidak ada kamu juga” bu astri terus melanjutkan nasihat-nasihat baiknya kepada senja yang sedari tadi sebenarnya tengah menolak mentah – mentah apa yang ia katakana kepada senja.


Benar saja, emosinya pun memuncak sudah “maaf bu astri..” tiba-tiba terdengar suara senja yang dari tadi diam kini mulai menyanggah perkataannya.


”Tidak seharusnya ibu berkata seperti itu kepada saya, ibu kan tidak merasakan berada di posisi saya, apa ibu kira ini adalah keadaan yang mudah saya lalui.”


“ sejak kecil saya tidak pernah mengenal dia,ayah saya.”


“Lantas bagaimana dengan kehidupan yang telah terbiasa kulewatkan tanpa sosoknya itu?”


“Lantas dimana ia ketika saya melewati bermacam peristiwa penting dalam hidupku?”


“Dimana ia ketika saya kedinginan?”



“Dimana ia ketika saya butuh bimbingan seorang ayah, melawan rasa ketakutan dan melewati masa-masa sulit bersama ibu saya?”


“dimana ia dalam setiap keadaan yang saya dan ibu lewati ?”


atau bahkan “dimana ia ketika saya melewati bermacam peristiwa penting dalam hidup saya?


Bahkan dimana ia saat rapor saya harus dijemput oleh orang tuaku ?”. dimana buuu…?? Dimana..??? Tukas senja tiada henti kepada bu astri seolah melimpahkan segala sesak yang telah lama membuncah itu.


“Senjaaa…” jawab bu astri mencoba menenagkan senja yang sepertinya sedang dikuasai amarah itu.


“Tidak, bu..” tukas senja


“saya tidak bisa melakukan apa yang ibu katakan tadi, terserah bagaimana penilaian ibu terhadap saya” jelas senja sambil beranjak dari tempat duduknya, sambil bergegas mengangkat tas sekolahnya ia berkata kepada bu astri “jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan selain masalah pribadi saya, saya mohon izin untuk pulang bu..”

“oya bu, bukankah benua amerika itu akan tetap ada, meskipun bukan Cristhoper Colombus ataupun Amerigo Vespuci yang menemukannya ?”

“permisi bu, saya pamit pulang…” senja kemudian beranjak meninggalkan kantor BK yang

 pada saat itu hanya ada dirinya dan bu astri.


Sementara bu astri yang berada diruangan itu hanya tertegun melihat reaksi senja, tapi sepertinya ia maklum dengan keadaan psikologis senja saat itu. Sehingga ia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja sambil menatap senja yang berjalan semakin jauh meninggalkan kantornya.

Begitulah senja, seorang remaja kritis sekaligus berwatak keras itu.


***


Kemudian sampailah senja pada sebuah proses dimana ia mendengar,mengerti dan memahami. Sebuah proses belajar yang tiada henti, di bumi Allah yang ia jadikan sebagai sekolah kehidupannya sepanjang masa

Semakin lama ia semakin dapat merasakan proses pembelajaran dalam sekolah kehidupan ini. Senja remaja telah menyelesaikan sekolah tingkat menengahnya dan kini mulai mengenal dunia kampus yang menurutnya bukan hanya sekedar pendidikan baca tulis saja. Kini iapun semakin merasakan perasaan yang semakin kuat yang mendorongnya untuk menemukan jati dirinya yang sesungguhnya, tentang siapa ia dan untuk apa ia ada di dunia ini, yang pada akhirnya mengantarkannya mengenal siapa Tuhannya.


***



Di kampus itulah ia mengenal fajar, ia mengenal fajar bukan hanya sebagai seorang mahasiswa yang berada dalam satu jurusan dengannya, lebih dari itu, ia mengenal sisi lain dari seorang fajar, yang mungkin kebanyakan orang menganggapnya biasa – biasa saja. Pernah disatu masa, ia merasa begitu cemburu dengan seorang fajar, sebab ia mengetahui bahwa fajar adalah seseorang yang begitu mencintai ayahnya. Berkebalikan dengan senja, yang selama ini begitu membenci ayahnya.


Senja merasakan cemburu yang begitu bergejolak setiap kali fajar bercerita tentang ayahnya, sorot mata fajar begitu memancarkan kekaguman dan kerinduan akan hari-hari yang ia lalaui bersama ayahnya. Ia cemburu karena fajar begitu banyak memiliki kenangan bersama ayahnya. Melalui fajar, senja benar – benar mengerti bahwa figur seorang ayah itu ternyata memang benar – benar ada, bukan fiktif belaka seperti yang selama ini ia bayangkan.


Sehingga tanpa sadar senja tengah melukai perasaannya sendiri manakala hatinya mulai bertanya :


“kenangan apa yang pernah aku lalui bersama ayahku ?"



Senja terus berusaha membuka memori-memori masalalunya dengan terus mencoba mencari-cari adakah sedikit kenanganyang pernah ia lalui dengan ayahnya sebagai salah satu pembelaan dari dalam dirinya, bahwa ia memilii kenangan yang serupa sebagaimana fajar tetap menyimpan indah kenangannya bersama ayahnya.

“TIDAAK, ternyata tidak ada walau sekeping pun…” senja bergumam dalam hatinya  


“mustahil kutemukan kenangan itu, sebab tak sekalipun aku pernah melalui apapun itu bersamanya.”


“Ya Tuhan..” Bathinnya mengisak


“aku bahkan tidak memiliki sketsa wajah ayahku dalam memoriku, benarkah ada bagian puzzle yang tak ada dalam hidupku??” senja terus bergelut dengan suara bathinnya.


“Tidak, senja.. inilah puzzle hidupmu..” begitulah suatu hari fajar menenangkan hatinya.


“kau tidak perlu menyamakan berapa banyak jumlah puzzle yang kau miliki dengan orang lain, sebab Tuhan memberikan kesempurnaan bentuk gambar dalam puzzlemu dengan jumlah keping yang telah kau miliki saat ini” nasihat fajar itulah yang selalu menguatkan hatinya.


“yaa.. Fajar benar..”

“Seharusnya aku bersyukur dengan kepingan puzzle yang telah kumiliki saat ini, bukan malah menangisi jumlah kepingan puzzle yang tak sama denga orang lain .” senyum senja mulai mengembang.


Senja kembali berbicara dalam hatinya “Sungguh Tuhan, aku perlahan mulai ikhlas menerima kenyataan yang dahulu paling sulit kuterima. Harusnya aku sadar bahwa aku ini masih jauh lebih beruntung jika aku menyadari bahwa diluar sana bahkan ada orang yang tidak mengenal kedua orang tuanya, tidak mendapatkan kasih sayang dari keduanya, bahkan ia mungkin tidak sempat memikirkan apa itu kasih sayang tersebab ia harus memenuhi tuntutan hidup yang jika boleh ia memilih, mungkin tiada ingin ia jalani hidup yang seperti itu, hidup yang begitu keras dimana ia harus bertahan didalamnya.”


“Ya Tuhan, dimana kuletakkan rasa malu itu pada Mu, mengapa begitu sedikit sekali rasa syukur ku atas nikmat-Mu ?” Senja berkata setengah berbisik diiringi air bening yang mengalir dari sudut matanya.


***


Disuatu siang selepas dzuhur..



Suasana kampus masih seperti biasa, begitu juga senja dan segala aktivitasnya, tiba-tiba terdengar suara Yusuf Islam mengalun dari suara handphone senja. “ini pasti bunda” bathinnya sambil merogo handphone nya yang ada didalam tas ranselnya.

 

“Assalamaualaikun, bund..”

“Wa’alaikumussalam, senja dimana sekarang nak ?” Tanya bunda tergesa-gesa.


“ini, masih dikampus bund, tapi sebentar lagi mau balik lagi ke acara yang kemaren senja
izin sama bunda” terang senja kepada bundanya.


Tapi senja merasa sedikit aneh, padahal bundanya tahu kalau ia sedang ada acara ADK di kampusnya dan baru akan pulang keesokan harinya. Tanpa curiga senja kembali bertanya kepada bundanya, “memangnya kenapa bund? Kok sepertinya panik sekali?”


“Pulanglah sekarang, nak..” jawab bunda pelan


“ayahmu telah tiada..” kata bunda menyelesaikan perkataannya.


“Innalillahi wa inna ilaihi rodziun, iya bund, senja pulang sekarang”



“assalamualaikum” senja kemudian menutup handphonenya.


Tatapan mata senja menerawang kosong kedepan, sendi – sendi dilututnya pun terasa mulai lemas, sehingga nyaris tak mampu menopang tubuhnya lagi.

“siapa yang meninggal, senja ?” pertanyaan lingga menyadarkan lamunannya.


“ayahku, ga” jawab senja

“innalillahi…” kemudian linggapun memapah tangan senja seoalah mengisyaratkan “yang sabar ya, nja..”

 

“aku gak tau, ga.. perasaan apa ini, yang jelas ada bagian yang sakit didalam hatiku, seperti tercabut paksa setelah mendengar kabar dari bundaku tadi. “

“Menangis aja nja, biar berkurang rasa sakitnya tapi jangan diratapi ya..” kata lingga menenangkan.


Bagi senja, lingga memang selalu dapat menenangkannya, dialah salah seorang teman dikampusnya yang belakangan ini dekat dengannya. Senja belajar banyak tentang arti kesederhanaan melalui lingga. wajah teduhnya selalu dapat menginspirasi senja untuk mendekat pada-Nya.


Linggapun berkata pada senja,  


"di ikhlaskan ya nja, biar ayah tenang disisiNya, aku yakin do'a putri sholeha sepertimu yang akan membantu ayah dialam kubur kelak." katanya dengan tatapan senyum kepada senja. kata-katanya seolah mampu menguatkan senja pada masa itu.


Dalam perjalanan pulang menuju rumah, bathin senja terus bertanya sebab ia begitu tidak yakin, benarkah seorang senja dapat menangisi kepergian ayahnya menuju tempat yang hakiki itu?, perasaan yang ia rasakan itu tersebabkan selama ini senja juga tidak pernah merasakan keberadaannya sebagai seorang ayah dalam hidupnya.


“bagaimana mungkin ??”

“bagaimana mungkin aku bisa merasakan sebuah rasa kehilangan padahal tidak sedikitpun aku merasa pernah memilikinya ?” itulah pertanyaan yang terus-menerus muncul hingga ia tiba dirumahnya.


***



Sesampainya dirumah, senja telah ditunggu oleh april, kakak tertua dikeluarganya. Khawatir mereka menunggu terlalu lama, maka senjapun mengeluarkan sepeda motornya yang sejak dua hari yang lalu tidak keluar dari garasi rumahnya.


“buruan, nja..” kata april mulai mendesak.


”iya, kak, lagi manasin motor, dua hari gak dipake jadi susah di starter ni”, jawab senja sambil mengengkol motornya berulang-ulang.


Senja mengendarai motornya seorang diri, sementara april duduk tepat dibelakang suaminya dengan motor matic milik bunda mereka. Bunda memutuskan untuk tetap tinggal dirumah. Mereka paham dengan situasi bunda saat ini. Makanya baik senja maupun kak april tidak ingin memaksa bunda untuk ikut kerumah ayah mereka.


Saat mengendarai sepeda motornya, senja benar-benar merasa pikirannya sedang kosong, sampai ketika motor mereka tiba didepan sebuah gang kecil dirumah tempat ayah mereka disemayamkan. Motor yang dikendarai oleh mas andy mendadak melambat, terpaksa senja yang sedari tadi mengekori nya pun menurunkan kecepatan kenderaannya.


“apa yang membuat jalanan begitu ramai hingga motornya menjadi lambat?” senja membathin.


Dilihatnya beberapa orang laki-laki mendorong sebuah kereta kerenda yang bias dipastikan kalau itulah kenderaan yang akan mengantarkan tubuh kaku ayahnya nanti ke tempat peristirahatan terakhir.  


“ya Allah..perasaan apa ini?”



tiba-tiba senja tidak kuasa menahan butir-butir bening yang mengalir deras membasahi pipinya, ia tak percaya kalau ia dapat menangis secepat mungkin ia hapus airmatanya.


"Perasaan apa ini, Tuhan..?"



kenapa sakit sekali melihat keramaian didepan rumah ayah ? mengapa begitu menyesak didada melihat kakakku yang terisak – isak menahan sedih?” bathin senja terus bergejolak.



Begitu sampai dirumah ayahnya, Ia parkirkan motornya disamping rumah om hanafi, adik paling kecil almarhum ayahnya. Kemudian dilihatnya kakaknya menangis menyalami om yang tidak begitu akrab dengannya, karena memang senja tidak begitu dekat dengan keluarga ayahnya, sebab dulu ketika bundanya masih tinggal bersama mereka, senja masih berusia belum genap setahun.


April memang yang terlihat paling merasa kehilangan, betapa tidak, kematian ayahnya tepat sehari setelah hari ulang tahunnya. Sambil berjalan menuju rumah ayahnya, senja terus menatap kakaknya yang begitu ia sayangi, sambil tidak berhenti berdialog dengan hatinya


“ ya Allah, inikah kado yang harus kakak terima?” .



ketimbang perasaan hatinya, senja justru lebih dapat memahami bagaimana luka bathin kakaknya saat ini. Sebab berbeda dengan senja yang sejak belum genap berusia dua tahun tidak pernah mengenal sosok ayahnya, kakaknya itu memang dekat dengan almarhum ayahnya sejak kecil, sebelum ayah dan bunda mereka memutuskan untuk berpisah. Ia tahu kakaknya itu sebenarnya memang menyayangi ayahnya.


“assalamualaikum” ucap keduanya ketika memasuki rumah almarhum di semayamkan.


“wa’alaikumussalam “ jawab hampir semua orang yang berada di dalam ruangan kecil itu sambil menghentikan bacaan tahlil beberapa saat.


Ayah mereka di baringkan di ruang tamu yang tidak begitu luas, diatas kasur dengan sprei berwarna putih. Sebagian tubuhnya ditutupi kain panjang bermotif batik. Sedangkan bagian kepanya ditutup dengan selendang putih transparan.


Senja duduk bersimpuh tepat disamping wajah ayahnya yang telah di ikat dengan kain putih. Tangisnya kini semakin tiada bisa tertahan ketika ia dan kakaknya, april, membuka selendang putih penutup wajah ayahnya.


“engkaukah ini, ayah..?” ia seperti tiada percaya.


“Allah, inikah ayahku..?” iapun terus terisak tergugu.


Suasana dalam ruangan itu kini menjadi hening, beberapa diantaranya bahkan terharu seraya menghapus airmata mereka. Beberapa yang lain yang tidak mengenal mereka bertanya-tanya dengan kehadiran senja dan kakaknya.


Senja semakin merasakan sesak didalam dadanya, tatkala ia lihat wajah tua ayahnya kini telah kaku. Guratan keriput seakan menjelaskan bahwa almarhum kini telah renta bersama rambut yang kian memutih. hidungnya yang begitu mancung kini telah layu dan seperti ada butiran kecil membasahi sudut mata ayahnya.


Ya, Tuhan, perasaan apa ini?”


kenapa begitu sakit didalam??



aku tidak percaya sosok yang bahkan tak mampu kuingat sketsa wajahnya kini telah ada dihadapanku, dan sekarang tiada lagi bernyawa.” Bisik senja sangat pelan dengan wajah tertunduk.



Kemudian ia mengangkat kedua tangannya seraya mendoakan almarhum ayahnya dan memohon ampun untuknya,

 

“Wahai Allah, ampuni aku.. aku baru menjenguknya justru setelah ia tiada, tiada terbayang bagaimana keadaan beliau ketika kami tidak berada disisinya ketika ia tengah meregang nyawa menghadapi sakratul maut yang teramat dahsyat dari malaikat izrail, masihkah ada ampun bagiku, Allah..?” Allah Sungguh aku telah ikhlas terhadap apa yang telah terjadi dimasa lalu, maka terimalah beliau disisiMu, dan tempatkan beliau ditempat yang terbaik disisiMu..”


senja menangkupkan kedua telapak tangannya kewajahnya seraya mengaminkan.


Disamping jenazah ayahnya, ia senandungkan lantunan Alqur’an sambil menahan isak,


“ Maafkan aku ayah, hanya lantunan ini yang dapat kupersembahkan untukmu”.



Setelah shalat ashar, jenazah ayahnya akan segera dikebumikan, karena semakin cepat akan semakin baik untuk ayahnya. Ketika ayahnya hendak disholatkan, semua keluarga memberikan ciuman terakhir kepada jenazah ayahnya.


Satu persatu bergantian menciumi pipi sang ayah, hingga sampai pada giliran senja. Ia pandangi dalam – dalam wajah tua ayahnya sebelum akhirnya ia mencium pipinya. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia mencium pipi ayahnya dan sekaligus menjadi kali terakhir pula baginya.


“Ya Allah, Sungguh aku tiada kuasa menahan rasa sesak yang menghantam keras didadaku ini. Disaat hatiku mulai melembut beliau justru pergi meninggalkanku.”



Kemudian jenazahpun berlalu diatas keranda yang dipikul oleh beberapa orang, samar terlihat bayangan mereka semakin membawa jauh jasad sang ayah dari tatapan kosongnya. Hanya aliran air yang terasa basah dipipinya ketika april memeluk tubuhnya erat.


“Ampuni aku, Allah.. Keras hatiku telah membawaku merasakan kenyataan pahit ini. Kenyataan bahwa aku sekarang benar- benar telah menjadi seorang yatim.” rintih senja di dalam hati.


“Maafkan aku ayah, tentu belumlah aku dapat menjadi seorang putri sholeha yang berbakti padamu, hanya untaian do’a yang kupanjatkan setiap kali aku merasakan luka dihatiku kian perih. Semoga Allah menerima engkau disisiNya. Semoga kelak kita dapat berjama’ah di jannah-Nya bersama – sama keluarga kecil yang belum sempat kita wujudkan didunia fana ini, ayah..”


“Allahumma aamiin..” ungkap senja seraya memejamkan matanya.



***


 
 
medan, 22 februari 2011
-salam pena-